Selasa, 12 Agustus 2014

KAIDAH ILMU AL-QUR'AN (2)




KAIDAH-KAIDAH ILMU AL-QUR’AN

Pendahuluan                       
Al-Qur’an sebagai sumber yang asasi dan tertinggi bagi ajaran Islam meskipun diturunkan dengan memakai bahasa Arab sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an itu sendiri yang artinya “…sedang Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang” namun dalam menetapkan hukum, membuat perumpamaan, ataupun memberi pengajaran ia memiliki uslub yang berbeda dengan uslub yang biasa dipakai oleh bangsa Arab. Dia mempunyai corak dan bentuk tersendiri yang umumnya berbeda dengan yang biasa dilafadzkan oleh orang Arab. Hal ini merupakan bukti bahwa Al-Qur’an bukan dibuat oleh manusia (Muhammad) yang kemudian diperjelas oleh ayat yang berbunyi :
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka datangkanlah (buatlah) satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Qs. Al-Baqarah/2:23)
Al-Qur’an adalah kalam Allah. yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad Saw. yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Menurut bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud Qawaid dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
  1. A.    Makiyyah dan Madaniyyah
    1. Ciri-ciri ayat Makiyah dan Madaniyah
Ditinjau dari segi goegrafis turunnya al-Qur’an maka terdapat dua kelompok ayat yaitu ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat yang turun di Mekah disebut ayat Makiyah dan ayat-ayat yang turun di Madiniyah disebut ayat-ayat Madaniyah.[1]
Para ulama telah menyebut tanda-tanda wahyu Makiyyah dan Madaniyyah, diantaranya:
Pertama, semua surat yang di dalamnya “Ya ayyuhannasu’ dan tidak ada  “ya ayyuhalladzina aman” maka disebut ayat/surat makiyyah. Dalam surat Al-Hajj, sebagain ayatnya ada beda pendapat. Ayat dan surat Makiyyah pada umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat dan surat Madaniyah umumnya panjang-panjang. Dapat dibandingkan misalnya surat al-Baqarah.[2] Salah satu surat Madaniyah, panjangnya setengah juz, sementara juz terakhir (30) pada Qur’an memuat 36 surat yang pada umumnya dimasukkan dalam surat-surat Makiyah. Kedua, semua surat yang menyebut “ Kalla” maka ia adalah ayat Makkiyyah.[3] Umumnya ayat dan surat Makiyyah berbicara masalah ketahuhidan. Sedangkan Madaniyah pada umumnya berbicara masalah kemasyarakatan.[4]
Para ulama berbeda pendapat tentang Makkiyah dan Madaniyyah, kedalam tiga pendapat:
Pertama, pendapat paling masyhur, makkiyah yaitu wahyu yang turun sebelum hijrah Nabi Muhammad Saw, sedangkan Madaniyyah yaitu wahyu yang turun setelah hijrah Nabi Muhammad Saw, sama saja apakah turun di Makkah al-Mukkarromah atau di Madinah al-Munawarroh, pada tahun “Fatkhu Mekkah” atau tahun ”Haji Wada”, Nabi sedang berada dikediaman atau sedang berpergian. Ini adalah pendapat paling shahih dalam pengertian keduanya.
Kedua, Makkiyyah yaitu wahyu yang turun di Mekkah al-Mukarromah walaupun setelah hijrah, sedangkan Madaniyah yaitu wahyu yang turun di Madinah munawarroh,                        maka ayat yang turun dalam perjalanan Nabi tidak dinamakan Makiyyah atau Madaniyyah, tetapi dikatakan sebagai ayat Safariyyah.
Ketiga, Makkiyah yaitu wahyu yang turun karena objek pembicaraan yang dituju untuk penduduk Mekkah al-Mukarramah sedangkan Madaniyyah yaitu wahyu yang turun karena objek pembicaraan yang dituju untuk penduduk Madinah al-Munawwaroh.[5]
  1. Nasikh dan Mansukh
Akar historis nasikh mansukh ini sebenarnya adalah masuk kaedah-kaedah ilmu Ushul Fiqh. Namun nasikh mansukh dalam praktisnya masuk pada wilayah fiqh (tuntunan atau yurisprudensi Islam ). Secara definisi nasikh adalah pembatalan atau lebih tepatnya penghapusan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian. Penghapusannya secara jelas atau tersurat ( dhimni ). Baik itu penghapusan secara keseluruhan ( kulliy ) atau sebagian ( juz’iy ), menurut kepentingan amalannya.[6]Semua ini diamalkan demi sebuah kemaslahatan. Perlu diingat yang dihapus itu pada tataran tuntunan bukan pada tataran akidah dan tauhid seperti keimanan. Juga diperuntukkan kepada orang yang mempunyai akal, dalam fiqh disebut taklif atau orang terbebani dalam melakukan syari’at. Nasikh ( penghapus ) itu terpisah dari mansukh ( yang dihapus ) maka datangnya lebih awal mansukh daripada nasikh. Jika nasikh bersambung dengan mansukh maka bisa disebut syarat, sifat, istitsna’ ( pengecualian ) dan bukan disebut nasikh mansukh. Mansukh dibatasi oleh waktu tertentu. Misalnya : “Dan makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”( QS:2 : 187 ). Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh, tidak boleh lebih lemah daripadanya. Karena yang lebih lemah tidak sanggup menghapus yang kuat. Oleh karena itu hadist Ahad bisa mansukh dengan hadits Mutawatir dan tidak boleh sebaliknya. Kemudian penghapusan ada yang terhadap hukum dan tulisannya sekaligus. Ada yang hukumnya saja dan tulisannya masih tetap dan ada yang tulisannya saja sedang hukumnya masih tetap.[7]
Berdasarkan amalannya nasikh mansukh diklasifikasikan menjadi berbagai macam.[8]
  1. Nasakh Al-kitab Bi Al-kitab : Penghapusan ayat Al-Quran yang turun lebih dahulu dengan ayat turun kemudian. Dalam pendekatan pola filsafat ini disebut pengkokohan. Karena lebih kokoh jika dua ayat yang substansinya sama. Kemunculan dua ayat ini dirasakan untuk kemaslahatan dan sesuai kondisi ummat Islam pada waktu itu. Misalnya : jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang-orang kafir ( QS: 8: 65 ). Ayat ini dinasakh dengan ayat “ Sekarang Allah telah meringankan kamu dan Dia telah mengetahui kelemahan ada pada kamu. Maka, jika ada diantara kamu seratus orang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika diantara kamu ada seribu orang ( yang sabar ), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang, dan jika kamu seribu orang ( yang sabar ) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang ( musuh ) ( QS : 8: 66 ).
  2. Nasakh Al-kitab Bi As-sunnah : Penghapusan ayat yang datang lebih dahulu dengan hadits yang datang kemudian. Namun syaratnya hadist Mutawatir. Misalnya : Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan maut jika dia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf ( QS : 180 ). Dinasakhkan oleh hadist: “ketahuilah tiada wasiat untuk ahli waris” ( H.R. Ad-Darutquthni dari Jabir R.A ).
  3. Nasakh As-sunnah Bi Al-kitab : Sebaliknya dari nomer 2. Misalnya : Perbuatan Nabi SAW dan para shahabat menghadap ke Baitil-Maqdis dalam Shalat dinasakhkan ayat : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidi Haram….” ( QS: 2 :144 ).
  4. Nasakh  As-sunnah bi As-sunnah : Penghapusan hadist dengan hadist. Misalnya: “Dulu aku telah melarangmu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah karena mengingatkan pada kematian” ( HR. Hakim dari Anas ).
  5. Nasakh Dimniy : Penghapusan secara tersirat ( implisit ). Jika nash ( teks ) tidak memberi perintah secara tegas. Maka yang ada dua syari’ dengan hukum yang terdahulu ( qadiim ) dan tidak boleh menggabungkannya. Maka dianggaplah hukum yang datang kemudian sebagai penghapus.
  6. Nasakh  Juz’iy : Penghapusan yang bersifat sebagian. Hukum yang mutlak ini dihapus dengan melibatkan sebagian keadaan. Misalnya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik ( berbuat zina ) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali” ( QS: 64: 4). Ayat ini menunjukkan bahwa penuduh wanita bersuami yang tidak mempunyai bukti ( bayyinah ) atas tuduhannya dapat didera.
  7. Nasakh Kulliy : Penghapusan secara menyeluruh. Misalnya: Menghapus kewajiban memberi warisan kepada orang tua dan sanak kerabat. Seperti juga menghapus masa tenggang ( ‘iddah ) Seorang istri yang ditinggal suaminya selama setahun dengan ‘iddah lebih ringan yakni empat bulan sepuluh hari. Tercantum di QS : 2 : 240 dan QS : 2 : 234.
  8. Nasakh Sharih : Penghapusan nash secara tegas dalam pembentukan syari’at. Karena otoritasnya lebih kuat dan lebih jelas yang datang kemudian seperti penghapusan hadist ziarah kubur tadi.[9]
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[10] Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.[11]
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan). Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya.”[12]Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.[13]Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.[14]
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah; Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, “ayat” yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi.[15]Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong. Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka. Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh. Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.[16]
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.[17]
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim. Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak. Muhammad ‘Abduh –walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.[18]
  1. C.    Asbabul Nuzul
Sbabun Nuzul secara bahasa berarti “sebab-sebab turunya”. Yang dimaksud di sini adalah “sebab-sebab atau yang melatarbelakangi turunya al-Qur’an”. menurut as-Suyuthi, Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi sebelum turun ayat, sedangkan sesudah turunnya ayat tidaklah disebut asbab.[19]menurut Wakidy, Asbabun Nuzul adalah peristiwa sebelum turun ayat, walaupun “sebelumnya” itu masanya jauh seperti adanya peristiwa gajah dengan surat al-Fii.
Subhi as-Shalih dalam Mabahits fi Ulumil Qur’an menyatakan, Asbabul Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunya satu atau beberapa ayat sebagai jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada waktu terjadinya sebab itu.[20]
Az-Zarqani dalam kitab Manahilul Irfan menyatakan, Asbabun Nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hokum berkenaan dengan turunnya suatu ayat.[21]sanada dengan Az-Zarqani, Daud al-Aththar mendefinisikan Asbabun Nuzul sebagai sesuatu yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan atau menceritakan suatu peristiwa itu.[22]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Asbabun Nuzul adalah suatu peristiwa yang ada kaitan langsung dengan satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang diturunkan ketika itu, baik sebagai: (a) Jawaban suatu pertanyaan atau (b) penjelasan hokum yang dikandung ayat tersebut, atau (c) contoh kasus yang diceritakan ayat tersebut.
Pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbabun Nuzul adalah untuk membantu memahami ayat al-Quran, baik dalam mengistimbath hukum dalam berstidlal,[23] ataupun sekedar memahami maksud ayat. Tidak mungkin memahami kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab turunya ayat tersebut. Menurut Ibn Daqiq al-‘Id, mengetahui Asbabun Nuzul adalah cara yang tepat untuk memahami al-Qur’an. menurut Ibn Taymiah, Asbabun Nuzul membantu seseorang untuk memahami al-Qur’an. subhi ash-Shalih menyatakan: “ketidaktahuan seseorang tentang Asbabun Nuzul sering menjerumuskannya ke dalam kesalahan dan kekeliruan kaarena ia memahami ayat tidak sesuai dengan maksudnya.[24]
  1. Lafadz Umum dan Sebab Khusus
Dalam memahami hal yang berkaitan dengan sebab turunnya al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Persoalannya adalah apakah suatu ayat yang turun dengan sebab tertentu itu terbatas pengertian dan hukum yang dikandungnya hanya pada seba nuzul ayat tersebut ataukah dapat menjangkau berbagai masalah atau peristiwa serupa?menurut jumhur ulama yang menjadi pegangan dalam memahami ayat tersebut adalah redaksinya yang bersifat umum dan bukan sebabnya yang khusus. Adapun ketentuan-ketentuan yang menyangkut hal tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab adalah:
    1. Yang jadi hujjah adalah lafaznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
    2. Lafaz haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia dipahami khusus.
    3. Para sahabat salalu berhujjah dengan lafaz umum, walaupun mereka sudah tahu sebab-sebab khususnya.
Contoh ayat yang berkaitan dengan hal tersebut adalah sebagaimana yang ditulis oleh az-Zarqani bahwa ayat yarmuna Azwajahum. Ayat tersebut turun berkaitan dengan kasus li’an Hulal bin Umayah terdapat istrinya yang menjadi sebab khusus turunya ayat tersebut. Akan tetapi ayat tersebut turun dengan lafaz yang umum; karena itu hukum yang dikandungnya dapat diterapkan pada kasus lain yang serupa tanpa melalui qiyas.
  1. 2.      Al-Ibrah bi khusus as-sabab
    1. Sebab dan munasab harus serasi, lafaz umum haruslah diapahami dengan sebab khususnya itu.
    2. Kelompok ulama yang berpegang atas dalil ini mengatakan bahwa ketentuan hukum yang dikandung ayat tersebut pada dasarnya terbatas pada peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. penerapannya terhadap kasus lainnya yang serupa hanya mungkin dilakukan melalui qiyas atau nash lain.[25]
Pengertian Asbabun Nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi social pada masa turunnya al-Qur’an dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu dengan mengembangkan pengertian qiyas.[26]
  1. Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Mengetahui Asbabun Nuzul adalah upaya untuk membedah antara dua hal yaitu sebab dan musababnya, atau dalam bahasanya Nasr Hamid Abu Zaid menguak dan menghubungkan antara realitas khusus (sebab) ke realitas yang menyerupainya (musabbab). Akan tetapi harus disadari bahwa transformasi dari “sabab” ke “musabab”, atau dari realitas khusus ke realitas menyerupainya, harus didasarkan pada tanda-tanda yang terdapat ada struktur teks itu sendiri.[27]
Menurut az-Zarqani, suatu peristiwa atau pertanyaan dapat disebut sebagai sebab nuzul ayat didasarkan pada riwayat yang shahih yang berasal dari sahabat Nabi yang benar-benar menyaksikan dan memahami sejarah turunnya suatu ayat. Jika riwayat itu berasal dari Thabi’in maka tidak dapat dijadikan sebab nuzul, kecuali diperkuat oleh salah seorang imam tafsir yang langsung mengambil dari sahabat seperti Ikrimah, Mujahid, Said bin Zubair, Atha Said bin Musayyab, dan Dhahhak.
Bentuk-bentuk ungkapan dalam mengunngkapkan Asbabun Nuzul itu bermacam-macam. Adakalanya diucapkan dengan ucapan yang jelas (sharih) melalui perkataan. Ibarat seperti ini merupakan nash yang tegas mengenai sebab turunnya ayat.
Kadang-kadang rawi tidak secara langsung menggunakan kata sabab tetapi menggunakan fa ta’qibiyah dalam rangkaian riwayat, seperti riwayat, seperti riwayat yang berasal dari Jabir:
كا ن اليهود يقول: من اتى امراة من دبرها جاء الوالد احول، فانزل الله: نساءكم حرث لكم
Kecuali itu, terkadang pula sebab turun tidak diungkapkan baik dengan kata sebab maupun fa ta’qibiyah tetapi ada kaitan dengan pertanyaan yang diajukan kepada Nabi dengan ayat yang diajdikan jawaban atas pertanyaan tersebut, seperti riwayat Ibn Mas’ud mengenai ayat yang berkaitan dengan masalah ruh.
                            Penutup
            Menjadi jelas kepada kita akan pentingnya mengetahui asbabun nuzul bila kita hendak memahami al-Qur’an. pentingnya mempelajari dan mengetahui Asbabun Nuzul adalah untuk membantu memahami ayat al-Qur’an, baik dalam menetapkan hukum atau dalam berdalil, ataupun sekedar memahami maksud ayat. Tidak mungkin memahami kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut.
 [1] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, (Bogor: Granda Sarana Pustaka, 2005), h. 47.
[2] Al-Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliky Al-Hasany, Kaidah-kaidah ulumul Qur’an, (Perkalongan: Al-Asri, 2008), h. 4.
[3] Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an. h. 48.
[4] Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2004), h. 82.
[5]  Al-Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliky Al-Hasany, Kaidah-kaidah ulumul Qur’an, h. 4.
[6] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 ), hlm 243.
[7] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , h. 243.
[8] Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh , h. 244-246.
[9] Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan Fi ‘Ilmi Ushul Fiqh, ( Ponorogo: Darussalam Press, tanpa tahun), hlm 41.
[10] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, (Beirut: Dar Al-Ma’arif, 1975) , jilid III, h. 108.
[11] Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil A-’Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, (Mesir :1980), Jilid II, h. 254.
JAKARTA 12/8/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman