Rabu, 10 Desember 2014

PLURALISME Menurut Islam




MEWASPADAI PAHAM PLURALISME ?


“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19).
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30)

Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruknya mahluk (al-Bayyinah:6)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan janganlah kamu suka menjela bangsamu dan janganlah memangil dengan gelar ejekan. Jahat sesudah beriman itulah nama yang amat buruk. Siapa yang tidak kembali itulah orang-orang yang bersalah” (Q.S. al Hujurat 11)[6]

Muqaddimah

Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui fatwanya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7  tahun 2005, MUI telah dengan tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat Islam untuk mengikuti apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI melarang paham ini adalah ayat-ayat al Qur’an, seperti “barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”.(al-ayat) Dan “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”.(al-ayat) Dan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”.(al-ayat)

Selain ayat al Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadits Rosulullah saw. Imam Muslim (w 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan hadits Rosulullah saw : “Demi zat yang menguasai jiwa Muhamad, tidak ada seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia mati akan menjadi penghuni neraka.”. Begitu juga Nabi mengirimkan surat-surat Dakwah kepada orang-orang non muslim, antara lain kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam (Hadits Riwayat Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra dan imam al Bukhari dalam Shahih al Bukhari).

Adapun Pluralisme mengakui bahwa agama itu sama dalam porsinya masing-masing. Dengan kata lain, mengakui persamaan dalam perbedaan. Sama-sama benar dalam posisi dan kedudukannya masing-masing.[6] Semua keyakinan dan paham ini bertentangan dengan konsep Islam yang telah dirumuskan dan menjadi Fatwa MUI diatas. Dan menunjukan bahwa Pluralisme bukan  merupakan paham yang lahir dari Islam bahkan justru bertentangan dengan Islam.

Meskipun pluralisme ini bukan berasal dari Islam, tapi kaum pluralis mencari legitimasinya dari ayat-ayat al Qur’an. Mereka mengakalinya sehingga terkesan al Quran pun mendukung terhadap paham ini. Ayat al Qur’an yang sering dijadikan rujukan mereka adalah QS al Baqarah ayat 62 :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Arti Pluralisme

Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.

Latar belakang munculnya gerakan Pluralisme
Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.

Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa ini. Banyak ilmuwan dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang plural (sangat beragam dalam segala hal terutama agamanya). Menurut Adnin Armas, Paham ini mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah satu-satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.(Adnin Armas, Pluralisme : Sebuah Paham Syirik Kontemporer. Hal.1h t t p : / / w w w . i n s i s t n e t . c o m)

Sementara pengertian Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama sama kebenaran setiap agama relative. Dalam paham Pluralisme setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga (fatwa MUI). Pluralisme agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama jalan yang sama-sama menuju Tuhan yang sama, jadi menurut paham ini semua agama adalah jalan yang bebeda-beda menuju Tuhan yang sama. Pluralisme ini kerap dipadankan dengan inklusivisme yang dua-duanya sama berbahaya, bahkan inklusivisme lebih berbahaya karena mengajarkan bahwa agama bukanlah satu-satunya jalan keselamatan, dalam paham ini tidak boleh dianggap penganut agama lain bakal menghuni Neraka.

Pluralisme sendiri bukanlah paham yang lahir dalam diskursus keislaman. Dalam penelitian Syamsudin Arif, paham ini merupakan turunan  dari paham Relativisme. Menurutnya, fakta bahwa agama yang ada didunia ini sangat banyak telah melahirkan dua aliran pemikiran besar, yaitu skeptisisme dan relativisme. Kaum skeptis menyatakan bahwa beragamnya agama tersebut menjadi pembenar bahwa kebenaran dalam agama itu tidak ada. Sementara kaum relativis berpendapat sebaliknya, bahwa beragamnya agama merupakan sebuah fakta bahwa kebenaran itu tidak satu, ia ada pada setiap agama.

Lebih lanjut, kaum relativis ini memiliki tiga aliran pemikiran, yaitu esensialisme, sinkretisme, dan pluralisme. Esensialisme menyatakan bahwa semua agama pada esensinya sama, percaya pada ketuhanan. Bedanya hanya pada bentuk formalnya saja. Sementara Sinkretisme, melangkah lebih jauh dengan mencoba menyatukan agama-agama dalam satu format keagamaan. Contohnya sikhisme di india, baha’isme di iran, caudaisme di Vietnam, atau semacam aliran-alian kebatinan.

Adapun Pluralisme mengakui bahwa agama itu sama dalam porsinya masing-masing. Dengan kata lain, mengakui persamaan dalam perbedaan. Sama-sama benar dalam posisi dan kedudukannya masing-masing.( Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intelektual, hal. 80-83. Dalam Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, hal. 68-69.)Semua keyakinan dan paham ini bertentangan dengan konsep Islam yang telah dirumuskan dan menjadi Fatwa MUI diatas. Dan menunjukan bahwa Pluralisme bukan  merupakan paham yang lahir dari Islam bahkan justru bertentangan dengan Islam.

Bantahan atas Argumen Pluralisme

Dengan kemampuan mereka memahami bahasa Arab yang cukup baik, mereka suka memelintir makna ayat sehingga kaum intelektual-awam agama percaya kepada mereka. Mari kita perhatikan ayat 256 surat al-Baqarah; Mereka menganggap tidak ada paksaan dalam beragama berarti pengakuan agama lain. Pemahaman demikian bukanlah pemahaman yang benar. Untuk lebih memahami makna tidak ada paksaan ini satu ayat penuh harus difahami secara utuh. Lanjutan ayat tersebut adalah, “sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Jika ayat ini dibaca dengan tuntas maka akan jelas, tidak ada paksaan karena telah jelas yang benar dan yang salah, islam itulah yang benar dan yang lainnya adalah salah. Masing-masing bebas memilih dengan resiko sendiri-sendiri. Adapun kaum pluralis dalam memaksakan pemahamannya tak jarang memotong ayat tidak pada tempatnya sehingga seolah-olah benar padahal tidak benar.

Allah swt berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(al-Baqarah:62)

Jika kita lihat ayat 62 surat al-Baqarah, sekilas memang ayat ini menjelaskan bahwa orang Yahudi jika tetap beriman dan beramal shaleh akan masuk sorga. Orang Nasrani, orang Shabi’in, selama tetap beriman dan beramal shaleh ia akan masuk sorga.

Dalam memahami suatu ayat, para ulama’ telah menganjurkan agar menggunakan riwayat turunnya ayat, yang disebut dengan asbab nuzul. Adapun asbab nuzulnya sayat ini adalah; Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan guru-gurunya dari golongan Nasrani dan Yahudi. Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”

Pandangan Islam tentang Keberagaman (pluralitas)

Allah swt melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas tentang bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya. Begitu juga hal ini telah di contohkan oleh utusan-Nya Muhamad saw. Dan fatwa MUI di atas dirasa telah cukup untuk mewakili bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan umatnya menyikapi masalah pluralitas.

Dalam hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak berkompromi dengan orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran agama lain selain Islam. Umat Islam dilarang juga mencampuradukan konsep peribadahan dengan agama lain diluar Islam (sinkretisme). Diantara ayat al Qur’an yang membahas masalah ini adalah QS al kaaFirun [109] : 1-6;

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Dari awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat Islam melakukan kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir. Umat Islam diperintahkan untuk mengatakan kepada orang kafir bahwa kita bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang mereka sembah. Sebaliknya, orang kafir bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang orang Islam sembah.

Imam Ibnu Jarir dalam tafsirnya meriwayatkan Hadits yang menjadi asbabu  nuzul ayat ini, Yaitu: Menurut Ibnu Abas, bahwa orang Quraisy pernah menawarkan kepada Rosulullah saw harta yang banyak sehingga beliau akan menjadi orang yang paling kaya di Mekah. Bahkan beliau boleh memilih perempuan Quraisy yang mana saja untuk dinikahi dengan syarat tidak lagi mencaci maki Tuhan-tuhan yang mereka sembah.

Jika beliau menolak kesepakatan itu, maka orang Quraisy menawarkan kesepakatan lain yaitu mereka akan beribadah kepada Tuhan Muhamad selama satu tahun dan Muhamad pun harus beribadah kepada tuhan mereka selama satu tahun penuh. Menurut Ibnu Abas, kepada ajakan kaum Quraisy ini Rosulullah saw tidak langsung memberikan jawaban sehingga turun Qur’an Surat al Kaafirun ayat satu sampai enam.( Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan. Dalam Maktabah Syamilah.)

Penolakan Rosulullah saw kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan bahwa tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah dan Ibadah. Namun, Rosulullah saw juga mengajarkan tetap berkompromi dan bergaul dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan. Rosulullah saw tetap berinteraksi (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan orang-orang diluar agama Islam.

Diantaranya Rosulullah saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh siti A’isyah: “Bahwa Rosulullah saw pernah membeli makanan kepada orang yaudi dengan menggadaikan baju besinya” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).  Hal ini menunjukan bahwa Islam mengakui Pluralitas dan menolak pluralisme, sebagaimana kata Adnin Armas, merupakan sebuah paham syirik kontemporer.

Pendapat Para Pakar Tafsir Menolak Agama selain  Islam

Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85].

Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan, agama, kepercayaan, dll, ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.”

Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan. Maknanya Islam hanya mengakui adanya agama dan keyakinan di luar agama islam, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui adanya kebenaran pada agama selain Islam. Islam tetap mengajarkan bahwa agama di luar Islam adalah kesesatan, meskipun diijinkan hidup berdampingan dengan Islam.

Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Islam mengajarkan keyakinan bahwa islam sajalah agama yang benar, yang diridlai Allah. Orang yang masih mencari agama selain Islam, ia akan rugi, karena amalnya tidak diterima oleh Allah. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah mengingkari ayat-ayat al-Qur’an yang tegas dan jelas. Pengingkaran tersebut berakibat pada batalnya keislaman seseorang, na’udzubillah min dzalik.Wallahu ‘Alam.

Jakarta 10/12/2014

1 komentar:

  1. mau nanya apa si makna sebenarnya kata kafir itu, apa yang tidakberiman kepada allah apa hanya sebatas berbeda lembaga agama saja? dan apa makna sbenarnya kata islam dalam alquran pada tafsir! apa islam secara karakter atau islam secara lembaga? trus apakah agama lain semisal kristiani dan yang lainnya tidak menuhankan allah atau kata lain untuk menyimbolkan allah?

    BalasHapus

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman