Selasa, 13 Januari 2015

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN




SIAPAKAH KAUM RADIKALIS ITU ?
Muqaddimah
Radikalisme dalam beragama (baca: dalam berislam) telah menjadi sebuah mainstream isu global yang mengganggu Barat dan sebagi-an Umat Islam yang Westernized-mindset. Untuk mengatasi radikalisme dan kaum radikalis itu, Barat dan sekutunya mengumandangkan perang terhadap radikalisme dan kaum radikalis, untuk melenyapkan mereka dari kolong jagat. Berbagai upaya tipu daya dan makar dilakukan untuk melenyapkan radikalisme dan kaum radikalis. Mulai dari upaya dan tipu daya yang paling halus sampai yang paling biadab. Dengan lenyapnya radikalisme dan kaum radikalis--kata mereka--maka akan terwujudlah kedamaian dan keamanan dunia.
Apakah Islam itu agama radikal? Kalau "ya", apa sebenarnya yang dinamakan "radikalisme" itu? Kalau "tidak", mengapa radikalisme dalam berislam muncul? Apa latar belakangnya? Apakah Barat tidak berperan bagi la-hirnya radikalisme itu sendiri? Benarkah tujuan Barat dan sebagian Umat Islam memerangi radikalisme dan kaum radikalis adalah untuk menciptakan kedamaian dan keamanan dunia? Benarkah tidak ada "tujuan terselubung" di balik peperangan terhadap radikalisme dan kaum radikalis? Bagaimana pula upaya dan solusi untuk menangani radikalisme tersebut?

Dr. Yusuf Al-Qaradhawi--melalui buku--ini mengupas tuntas tema tersebut. Ketajaman analisis, kekuatan argumentasi, dan bahasa yang mudah tidak menyisakan apapun bagi kita selain "kejelasan" tentang masalah tersebut. Tidak ada yang dapat diungkapkan kepada Anda tentang isi buku ini selain "Anda harus membacanya".
(goodreads.com)
Makna Radikalisme
Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara drastis dan kekerasan.
Radikalisme Agama
Istilah radikalisme atau terorisme sering sengaja atau tidak dialamatkan kepada umat Islam, hal ini merupakan semacam kecelakaan sejarah. Menjadi demikian karena memang posisi Islam sebagai kekuatan peradaban sedang berada di buritan.
Umat Islam sangat tersudut, karena pelaku teroris mayoritas beragama Islam dan dalam aksinya selalu menggunakan simbol-simbol Islam. Bahkan, media massa yang didominasi oleh media Barat menuduh Islam sebagai basic Idea dari terorisme, dan pesantren-pesantren yang banyak tersebar di Indonesia dituding sebagai sarang teroris.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan radikalisme?
Dalam sebuah buku sederhana berjudul Islam dan Radikalisme (2004), Rahimi Sabirin menjelaskan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap keagamaan yang ditandai oleh empat hal, yaitu: (1) sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain, (2) sikap fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri (paling benar), menganggap orang lain salah, (3) sikap eksklusif, yaitu membedakan (memisahkan) diri dari kebiasaan umat Islam kebanyakan, dan (4) sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.(Diposkan oleh Hasbullah Ahmad di 11/28/2012)
Pada dasarnya, perlu dibedakan antara radikal, radikalisme dan radikalisasi. Menurut KH. Hasyim Muzadi (ketua PBNUdan pengasuh pe-santren al-Hikam Malang), yang ditemui pada saat mengisi seminar nasional “Deradikalisasi Agama melalui Peran Muballigh di Ja
wa Tengah”3, pada dasar-nya seseorang yang berpikir radikal (maksudnya berp
ikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berpi
kir sudah seharusnya-lah seperti itu. Katakanlah misalnya, seseorang yan
g dalam hatinya ber-pandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah
(ekonomi, pen-didikan, hukum, dan politik) disebabkan Indonesia t
idak menerapkan syariat Islam. Dan oleh karena itu, misalnya, dasar Negara
Indonesia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (khilāfah islāmiyyah). Pendapat yang radikal seperti itu sah-sah saja.

Sedangkan radikalisme, masih menurut Muzadi, adalahradikal dalam
paham atau ismenya. Biasanya mereka akan menjadi radikal secara per-
manen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secarademokratis,
force(ke-kuatan) masyarakat dan teror.5Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal
yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Dalam pandangan
peneliti, setiap orang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal
(radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak.

Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi, menurut Muzadi adalah
(seseorang yang) tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di
masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketikadilan eko-
nomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan seterusnya. Jadi, jangan di-
bayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu radikalisme hilang. Sepanjang
keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul
di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum,
politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda
dengan keadilan. Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah
akhlak dari hukum itu (walisongo.ac.id)

Paradigma Hubungan Agama dengan Negara ?
Itu sebabnya dalam politk Islam, paling tidak, ada tiga paradigma tentang hubungan agama dengan Negara.
Paradigma pertama adalah konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan Negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan ilahi (divine sovereigenity), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada  di “tangan” Tuhan. Pandangan ini banyak dianut oleh golongna syi’ah dengan menyatakan bahwa imamah (kepemimpinan) sebagai rukun Islam yang keenam.
Artinya seorang muslim syi’ah harus mengikuti imam dan jika tidak, maka keislamannya rusak. Mereka sepakat akan keharusan adanya penunjukan imam yang didasarkan pada teks agama dan kepastian akan terpeliharanya para Nabi dan imam dari dosa kecil maupun besar.
Paradigma kedua, yang merupakan antítesis dari kelompok pertama, bersifat sekularistik. Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban agama. Dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban mendirikan negara, namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslimin. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada agama (Islam), atau paling tidak, menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.
Paradigma ketiga memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara agama berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiosis agama dan negara ini dapat ditemukan dalam pemikiran Al-Mawardi. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia adalah dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya adalah dua dimensi dari misi kenabian.(Hilwanisari.wordpress.com)
Agenda Perjuangan
Pada dasarnya, semua ormas Islam beraliran radikal, seperti Laskar Jihad, FPI, KISDI, dan Majelis Mujahidin menyuarakan aspirasi Islam, terutama nasib umat Islam di tanah air dan umat Islam di negeri lainnya. Sehingga tak berlebihan, jika perjuangan umat Islam selalu menjadi agenda utama. Dalam konteks inilah, ada empat isu/tema yang diperjuangkan kelompok Islam radikal:
a)      Piagam Jakarta
b)      Pemberantasan Tempat-tempat Maksiat
c)      Konflik antaragama
d)     Solidaritas Dunia Islam
Meski keempat kelompok Islam radikal memperjuangkan isu tersebut, tetapi masing-masing kelompok memiliki konsentrasi perjuangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kelompok islam radikal dengan pandangan politik , gerakan dan karakter simboliknya, telah menciptakan dinamika yang lain bagi perkembangn islam di Indonesia pasca kejatuhan rezim orde baru. Momentum perubahan politik diambil secara baik oleh kelompok islam radikal, sehingga memunculkan banyak varian kelompok islam yang berbeda-beda dan selalu berdialog dengan sejarahnya sendiri dalam setiap perubahan politik. Karena bagaimanapun juga, kemunculan mereka diawali dari momentum politik, sehingga keberlangsungannya pun banyak dipengaruhi oleh bagaimana perubahan politik yang akan terjadi di kemudian hari.(Hilwanisari.wordpress.com)
Ikhtitam
Ada juga pihak yang secara radikal menghendaki syariah jihad dihilangkan dari Ajaran Islam, karena jihad berpotensi menimbulkan radikalisme yang berujung kepada perilaku terorisme. Hal ini tentu bukan sebuah usulan yang bijak. Karena pensyariatan jihad ada dalam al-Qur`an dan Hadis. Justru yang lebih mendesak untuk dilakukan adalah upaya menyosialisasikan pemahaman jihad yang sebenarnya. Sehingga tidak dipahami secara keliru dan ekstrim.
Mereka yang melakukan kegiatan terorisme, sebagaimana faksi-faksi sempalan lain yang melakukan kejahatan dan penyelewengan atas nama Agama, memang menggunakan ayat-ayat al-Qur`an serta Hadis Rasulullah sebagai legitimasi kejahatan yang mereka lakukan. Namun bukan berarti mereka melakukan “hal yang benar”, karena ayat-ayat dan Hadis yang mereka gunakan memang valid, hanya saja penafsiran atasnya berpotensi salah. Kondisi ini pernah diprediksikan Ali bin Abu Thalib lewat perkataannya, “kalimah al-haqq wa urid bi ha al-bathil” (kalimat haq yang digunakan sebagai legitimasi atas kebatilan).(andiwowo.blogspot.com)
Lewat kesenian, lanjut Kyai muda ini, Islam kemudian membaur dalam pergumulan masyarakat, meniupkan ajaran suci Alquran secara halus. Ketika ingin mengajarkan tentang keesaan Tuhan, walisongo tidak banyak mengobral dalil. Mereka lebih menggunakan narasi pewayangan, bagaimana lakon sedemikian banyak dan rumit tidak mungkin dilakukan lebih dari satu Dalang—yang berarti skenario kehidupan itu pasti ada yang merancang, dan perancang itu hanya satu. Begitu, cara walisongo menyemai moralitas masyarakat, dengan tidak melulu membagi-bagikan petuah-petuah, doktrin. “Kesenian terbukti memberikan sumbangsih yang nyata bagi suksesi dakwah Islam,” tegasnya.
Tidak aneh, jika Sunan Kalijaga bahkan membeberkan tips dakwah dalam tujuh prasyarat yang harus ada, di antaranya adalah miyogo (pemukul gong) dan gongso (gong), yang berarti misi dakwah harus didukung dengan kesenian, selain prasyarat lain; wisma (papan), wanita (pendamping), pusaka (pelindung), turonggo (alat mobilitas), kukilo (medan). “Kesenian memang menjadi andalan dakwah di tanah Jawa tempo dulu, dan saya rasa masih relevan hingga sekarang,” tegasnya.
Jakarta 13/1/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman