Senin, 06 April 2015

TANDA 2 BERIMAN






KARAKTERISTIK ORANG BERIMAN ?


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 6018, 6136, 6475), Muslim (no. 47), Ahmad (II/267, 433, 463), Abu Dawud (no. 5154), at-Tirmidzi (no. 2500), Ibnu Hibban (no. 507, 517-at-Ta’lîqâtul-Hisân), al-Baihaqi (VIII/164).

SYARAH HADITS
1. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia mengerjakan ini dan itu”.

Menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah perkara iman. Sebagaimana yang telah jelas bahwa amal perbuatan termasuk dari iman.

Perbuatan-perbuatan iman terkadang terkait dengan hak-hak Allah, seperti mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Dan termasuk dalam cakupan perbuatan-perbuatan iman, ialah berkata yang baik atau diam dari selainnya. Perbuatan-perbuatan iman juga terkadang terkait dengan hak-hak hamba Allah, misalnya memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dan tidak menyakitinya. Ketiga hal itu diperintahkan kepada seorang mukmin, salah satunya dengan mengucapkan perkataan yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.[1]

Dalam Shahîhain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ.

Sesungguhnya seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak ia teliti kebenarannya, ucapannya itu menyebabkannya tergelincir di neraka lebih jauh dari pada jauhnya antara timur dan barat.[2]

Dalam Shahîh al-Bukhâri disebutkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.

Sesungguhnya seseorang mengatakan satu kalimat yang diridhai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya, melainkan Allah akan mengangkatnya beberapa derajat. Sesungguhnya seorang hamba mengatakan kalimat yang dimurkai Allah dan ia tidak menaruh perhatian terhadapnya melainkan ia terjerumus dengan sebab kalimat itu ke Jahannam.[3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ أَكْثَرَ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِيْ لِسَانِهِ.

Sesungguhnya kesalahan anak Adam yang paling banyak terletak pada lisannya.[4]

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaklah ia berkata baik atau diam”.
Adalah perintah untuk berkata baik dan diam dari perkataan yang tidak baik atau sia-sia. Jadi, adakalanya perkataan itu baik sehingga diperintahkan diucapkan. Dan adakalanya perkataan itu tidak baik dan sia-sia, sehingga diperintahkan untuk diam darinya. Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). [Qaf/50:18].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَلاَ يَبْصُقْ أَمَامَهُ فَإِنَّمَا يُنَاجِى اللهَ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ ، وَلَا عَنْ يَمِيْنِهِ فَإِنَّ عَنْ يَمِيْنِهِ مَلَكًا ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ، أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ، فَيَدْفِنُهَا.

Jika salah seorang dari kalian berdiri shalat, maka janganlah ia meludah di depannya karena sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Rabb-nya selama ia berada di tempat shalatnya; jangan pula ke sebelah kanannya karena di sebelah kanannya ada seorang malaikat; tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kiri atau ke bawah kakinya, dan hendaklah ia mengubur ludahnya itu.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لَا يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلَّا قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ ، وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةٌ.

Tidaklah satu kaum berdiri dari satu majelis, mereka tidak mengingat (berdzikir) kepada Allah di dalamnya, melainkan mereka seperti berdiri dari bangkai keledai dan mereka mendapatkan kesedihan.[6]

Dari sini dapat diketahui bahwa perkataan yang tidak baik hendaknya tidak diucapkan, lebih baik diam, kecuali jika sangat dibutuhkan. Sebab, banyak berbicara yang tidak bermanfaat membuat hati menjadi keras.

‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa banyak bicara, banyak pula kesalahannya; barang siapa banyak kesalahannya, banyak pula dosanya; dan barang siapa banyak dosanya, maka nerakalah yang lebih layak baginya”.[7]

Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya lalu berkata: “Lidah inilah yang membuatku berada di tempat-tempat yang membinasakan”.[8]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, tidak ada sesuatu pun yang lebih berhak di penjara dengan lama daripada lisan.”[9]

Alangkah indahnya apa yang dikatakan ‘Ubaidullah bin Abi Ja’far, seorang faqih penduduk Mesir pada zamannya, ia termasuk salah seorang ahli hikmah, beliau berkata: “Apabila seseorang berbicara di suatu majlis lalu perkataannya membuatnya takjub, maka hendaklah ia diam. Dan apabila ia diam lalu diam itu membuatnya takjub, hendaklah ia berbicara”.[10]

Kesimpulannya, selalu diam secara mutlak, atau menganggap diam sebagai bentuk taqarrub di sebagaian ibadah seperti haji, i’tikaf, dan puasa adalah dilarang.[11]

3. Di antara perkara yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kaum mukminin dalam hadits ini, ialah memuliakan tetangga.
Dalam sebagian riwayat terdapat larangan menyakiti tetangga karena menyakiti tetangga hukumnya haram. Sebab, menyakiti tanpa alasan yang benar itu diharamkan atas setiap orang. Tetapi dalam hak tetangga perbuatan menyakiti itu lebih berat keharamannya.

Dalam Shahîhain dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau ditanya: “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dia-lah yang menciptakanmu,” ditanyakan lagi: “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau membunuh anakmu karena takut ia makan bersamamu,” ditanyakan lagi, “Kemudian apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”.[12]

Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Abu Syuraih Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.

“Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman,” ditanyakan, “Wahai Rasulullah, siapa dia?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”[13].

Adapun memuliakan tetangga dan berbuat baik kepadanya adalah diperintahkan. Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Beribadahlah kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. [an-Nisâ`/4:36].

FAWÂ`ID HADITS
1. Iman adalah keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
2. Amal masuk bagian dari iman.
3. Iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir adalah rukun iman yang penting, karena mengingatkan kita kepada Allah yang pertama menciptakan, dan mengingatkan kita bahwa kita akan kembali kepada Allah dan akan dihisab.
4. Anjuran untuk menjaga lisan.
5. Kesalahan anak Adam yang terbanyak pada lisannya.
6. Wajib diam kecuali untuk perkataan yang baik, sesuai dengan sabda Rasulullah: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam”.
7. Islam mengajak kepada setiap perbuatan yang mengandung cinta kasih dan kerukunan di tengah masyarakat.
8. Anjuran untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak yang jelek.
9. Wajibnya menghormati tetangga, dan penghormatan tersebut kembali kepada kebiasaan masyarakat di sekitarnya.
10. Wajibnya memuliakan tamu, baik tamunya sedikit maupun banyak.
11. Anjuran untuk bergaul dengan baik terhadap sesama kaum muslimin.
12. Memuliakan tamu yang wajib itu selama sehari semalam.
13. Penafian iman yang dimaksud dalam hadits adalah penafian kesempurnaannya bukan pokok imannya.
Sumber:http://almanhaj.or.id
JAKARTA 7/4/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman