Rabu, 06 Mei 2015

HUKUM ULTA




MEMPERINGATI ULANG TAHUN ?


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

"Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Muqaddimah
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa segala macam tindakan yang kita lakukan sangat tergantung pada niatnya, innamal a’malu bin niyyat. Niat itu sendiri yang akan menentukan nilai kepada tindakan tersebut. akankah tindakan itu akan bernilai ibadah ataukah hanya sekedar tradisi semata yang tidak ada unsure ubudiyah sama sekali di dalamnya. Begitu pula dengan merayakan hari kelahiran maupun kegiatan lainnya. Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa selama di dalam acara tersebut ada unsur-unsur kebaikan, seperti; menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama muslim, mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan shalihah. Maka itu semua layak untuk dilaksanakan karena dianggap tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Merayakan Ulang Tahun Anak ?
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]
1.Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin :  Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

"Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".

Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.

Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Pendapat lain:
Berdasarkan riwayat tersebut, Maka hukum peringatan ulang tahun adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik. Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’” juz I hal. 162 :
“Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan beberapa hadits dan atsar yang dla’if-dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang tahni’ah. Secara umum, dalil dalil tahni’ah bisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”.
Asal dalam perkara ibadah adalah tauqif/berhenti di atas nash (dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh melakukan ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, berdasar sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami ini padahal bukan bagian darinya maka amalan yang diada-adakan itu tertolak.”
Demikian pula sabdanya Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ علَيْهَا أمرنا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalan tersebut tertolak.”
Perayaan ulang tahun adalah satu macam ibadah yang diada-adakan dalam agama Allah Subhanahu wa ta’ala. Dengan demikian, memperingati ulang tahun siapa pun tidak boleh dilakukan, bagaimanapun kedudukan atau perannya dalam kehidupan ini. Makhluk yang paling mulia dan rasul yang paling afdhal yaitu Muhammad ibnu Abdillah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah dihafal berita dari beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perayaan hari kelahirannya. Tidak pula beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi arahan kepada umatnya untuk merayakan dan memperingati ulang tahun beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, orang-orang yang paling afdhal dari umat ini setelah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para khalifah umat ini dan para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada berita bahwa mereka memperingati ulang tahunnya atau ulang tahun salah seorang dari mereka, semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya.
Perlu selalu dicamkan bahwa kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk mereka dan mengikuti urusan yang lurus/tegak yang diperoleh dari madrasah Nabi mereka. Ditambah lagi, dalam bid’ah yang satu ini ada unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai) perbuatan Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang kafir selain mereka dalam hal perayaan-perayaan yang mereka ada-adakan. Wallahul musta’an.
[Fatwa no. 2008, kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’, 3/83—84]
Sebagian ‘ulama juga ada yang membolehkan, diantaranya Salman al-Audah, seorang ‘ulama terkemuka di Arab Saudi. “Dibolehkan untuk merayakan hari kelahiran seseorang atau merayakan peristiwa-peristiwa yang membahagiakan, seperti ulang tahun perkawinan. Akan tetapi syaratnya, tidak usah mengadakan pesta dan makan besar atau dalam bahasa Arab disebut ‘id. Dibolehkan juga memberikan karangan bunga kepada teman-teman atau kerabat.”
Demikian kata Salman al-Audah dalam sebuah acara di MBC, salah satu stasiun televisi populer di Arab Saudi. Lebih jauh ia menambahkan, “Ini bukan perayaan hari keagamaan, hanya perayaan biasa dengan teman-teman. Jadi, tidak ada yang salah dengan itu semua.”
‘Ulama Arab Saudi lain yang sependapat dengan pendapat Salman al-Audah adalah mantan rektor Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad, Dr. Saud al-Fanissan. Ia menandaskan, perayaan ulang tahun tidak jadi masalah asalkan pelaksanaannya tidak meniru budaya barat, misalnya dengan menyalakan lilin dan meniupnya. Meniup lilin dalam pesta ulang tahun tidak bisa diterima karena meniru budaya barat. Akan tetapi, jika di dalamnya tidak diisi ritual-ritual semacam tiup lilin dan sejenisnya, hal itu boleh-boleh saja. Selain itu, umat Islam boleh membuat acara syukuran saat kelulusan sekolah, saat sembuh dari sakit, dan acara-acara lain yang serupa. Ia menyatakan setuju dengan pendapat al-Audah untuk tidak menggunakan kata ‘id (bahasa Arab yang artinya perayaan) untuk perayaan-perayaan semacam itu. Sebab, dalam Islam hanya ada dua perayaan, yaitu hari raya ‘Idul Fitri dan hari raya ‘Idul Adha.
Ikhtitam

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
أَلْحَمْدُ رَأْسُ الشُّكْرِ مَا شَكَرَ اللهَ عَبْدٌ لَا يَحْمَدُهُ رواه البيهقى أَلْحَمْدُ عَلَى النِّعْمَةِ أمَانٌ لِزَوَالِهَا رواه الديلمى أَفَلَا أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا رواه البخارى لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ رواه أبو داود Belum dikatakan syukur pada Allah, kalau belum bisa bersyukur pada manusia lain مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلِ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرِ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ رواه أحمد Barangsiapa yang belum bisa bersyukur terhadap hal kecil berarti belum bersyukur pada hal besar. Dan, barangsiapa yang belum bersyukur kepada manusia berarti belum bersyukur kepada Allah “ وَالتَّحَدُّسُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهَا كُفْرٌ رواه أحمد

Sumber:1.http://kicaukata.tumblr.com 2.http://forumsalafy.net
3.http://www.nu.or.id 4.http://almanhaj.or.id
JAKARTA 7/5/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman