Senin, 03 Agustus 2015

BERIBADAH kepadaKU




IBADAH LAHIR DAN BATHIN ?


وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.( QS Adz-Dzaariyat : 56.)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Al Ahzab: 21).
Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Muqaddimah
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzaariyat : 56.
Ayat ini menegaskan tentang tujuan diciptakannya jin dan manusia di muka bumi ini, yaitu untuk beribadah kepadaNya. Makna ibdah dalam pengertian yang komprehensif disebutkan oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, beliau menyebutkan :
العبادة هى اسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضاه من الأقوال والاعمال الباطنة والظاهرة
Ibadah adalah sebuah nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai oleh Alloh dan yang diridhaiNya berupa perkataan atau perbuatan baik yang berupa amalan batin ataupun yang dhahir (nyata).
KESALAH fahaman terhadap ilmu tasawuf yang melahirkan tuduhan sesat biasanya bersumber dari ketiada fahaman tentang hakikat tasawuf yang terkait dengan syariah. Anggapan keliru yang beredar, kaum sufi tidak terlalu taat pada syariah, bahkan ada ang menafikan syariah.
Padahal, mempraktikkan syariah pada taraf sempurna itulah akan ditemukan intisari tasawuf. Syariah yang dijalankan dengan sempurna itu tidak sekedar hukum dzahir, tapi juga mementingkan fiqih batin.
Maka, tasawuf yang sebenar merupakan praktik dari syariah itu pada tingkat yang sempurna (ihsan), dzahir dan batin. Antara syariah dan tasawuf memiliki kaiatan erat yang tiada dapat dipisah. Jika dipisah, maka Islam menjadi tidak sempurna.
Karena itu, Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawuf merupakan pengamalan syariah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan ilmu; ilmu tentang syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada siapa dank arena siapa amal ibadah diamalkan
Ibadah Menurut Sufi ?

Menurut ulama sufi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah, keikhlasan itu terbagi menjadi 3 derajat:

Pertama, beribadah kepada Allah karena mengharap pahala surga dan takut pada siksa neraka.
Kedua, beribadah kepada Allah untuk menghormati-Nya dan mendekatkan diri pada-Nya.
Ketiga, beribadah kepada Allah demi Dia bukan karena mengharap surga-Nya dan bukan karena takut neraka-Nya.

Yang ketiga inilah derajat ikhlas yang tertinggi. Karena, ia merupakan derajat ikhlasnya para siddiqin yaitu orang yang mencacapi keimanan tingkat tinggi.

Dalam ungkapan lain dari ulama sufi disebutkan bahwa orang yang beribadah kerena takut neraka maka itu keikhlasan seorang budak. Sedang yang beribadah karena mengharap surga, maka disebut keikhlasan seorang pedagang.[1]
Ibadah Menurut Ulama ?

Beribadah karena cinta pada Allah, seperti pandangan ualam sufi di atas, tidak salah. Akan tetapi mencintai Allah bukan satu-satunya induk yang memotivasi seseorang untuk beribadah dan beramal. Seperti disinggung di muka, beribadah karena berharap pahala, dan karena takut neraka juga termasuk ibadah.
Tujuan Ibadah ?

Dalil tujuan ibadah menurut Al-Quran adalah sebagai berikut:

1. QS Al-A'raf 7:55
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً
Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.

2. QS Al-Anbiya' 21:90
إِنَّهُـمْ كَـانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَ يَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُـوا لَنَا خَاشِعِيـنَ
Artinya: Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.

3. QS Al-Anbiya' 21:28
وَهُم مِّنْ خَشْيَتِـهِ مُشْفِقُــونَ
Artinya: .. dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.

4. QS An-Nahl 16:50
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِــمْ وَيَفْعَلُــونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).
Makna Ibadalah dalam Tasawuf ?
yaitu Tasawuf yang menekankan pembicaraannya dalam masalah rahasia ibadah (Asraru al-‘Ibadah), sehingga di dalamnya terdapat pembahasaan mengenai rahasia Taharah (Asraru Taharah), rahasia Salat (Asraru al-Salah), rahasia Zakat (Asraru al-Zakah), rahasia Puasa (Asrarus al-Shaum), rahasia Hajji (Asraru al-Hajj) dan sebagainya. Di samping itu juga, hamba yang melakukan ibadah, dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1)        Tingkatan orang-orang biasa (Al-‘Awam), sebagai tingkatan pertama.
2)        Tingkatan orang-orang istimewa (Al-Khawas), sebagai tingkatan kedua.
3)        Tingkatan orang-orang yang teristimewa atau yang luar biasa (Khawas al-Khawas), sebagai tingkatan ketiga.
Kalau tingkatan pertama dimaksudkan sebagai orang-orang biasa pada umumnya, maka tingkatan kedua dimaksudkan sebagai para wali (Al-Auliya’), sedangkan tingkatan ketiga dimaksudkan sebagai para Nabi (Al-Anbiya’).
Dalam Fiqh, diterangkan adanya beberapa syarat dan rukun untuk menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah. Tentu saja persyaratan itu hanya sifatnya lahiriah saja, tetapi Tasawuf membicarakan persyaratan sah atau tidaknya suatu ibadah, sangat ditentukan oleh persyaratan yang bersifat rahasia (batiniyah). Sehingga Ulama Tasawuf sering mengemukakan tingkatan ibadah menjadi beberapa macam, misalnya Taharah dibaginya menjadi empat tingkatan:
1)        Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari hadath dan najis.
2)        Taharah yang sifatnya mensucikan anggota badan yang nyata dari perbuatan dosa.
3)        Taharah yang sifatnya mensucikan hati dari perbuatan yang tercela.
4)        Taharah yang sifatnya mensucikan rahasia (roh) dari kecendrungan menyembah sesuatu di luar Allah SWT.
Karena Tasawuf selalu menelusuri persoalan ibadah sampai kepada hal-hal yang sangat dalam (yang bersifat rahasia), maka ilmu ini sering dinamakan Ilmu Batin, sedangkan Fiqh sering disebut Ilmu Zahir.
Ikhtitam
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ
Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada contoh tauladan yang baik orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir.”  (Qs. Al Ahzaab : 21)
Syekh Hasyim ‘Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif (dibebani menjalankan) syari’at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam dan wali. Ia mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari’at. Apabila ada yang mengingkari syari’at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan”. Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Subhahu Wata’ala wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin (Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6).
Syekh al-Junaid al-Baghdadi, guru besar para sufi, memperingatkan kemunculan orang-orang jahil yang memakai ‘baju tasawuf’ yang palsu dengan menggugurkan kewajiban syariat ini. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina (Abu Nu’aim,Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386).
Sumber:1.http://www.hidayatullah.com 2.http://santriblarah.blogspot.com
3.http://www.alkhoirot.net
Jakarta 3/8/2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Majelis Ulama Indonesia

Dunia Islam

Informasi Kesehatan dan Tips Kesehatan

Total Tayangan Halaman